Di antara bentuk kemusyrikan lainnya adalah tamimah atau dalam bahasa kita biasa disebut jimat. Para ulama mendefinisikan tamimah sebagai, “sesuatu yang terbuat dari kulit atau kertas yang padanya ditulisi dzikir-dzikir, doa-doa, atau ta’awwudzat (bacaan minta perlindungan) yang digantungkan di dada (dikalungkan di leher), pangkal lengan, dan lainnya. Terkadang juga tamimah terbuat dan rotan atau tali (tanpa tulisan, pen) dan digantungkan di dada. Terkadang juga bentuk tamimah adalah sesuatu yang diletakkan di atas pintu rumah, atau di mobil, atau di tempat tertentu lainnya.” (Shalih bin Abdul-’Aziz, AtTamhid Lisyarhi Kitabit-Tauhid)
Sebagian masyarakat kita terbiasa menggunakan tamimah (jimat) yang biasanya diperoleh dari dukun atau orang-orang tertentu yang dianggap sebagai orang pintar. Bentuknya antara lain tulisan-tulisan mirip tulisan Arab tapi tidak mudah dibaca bahkan tidak dapat dibaca sama sekali, oleh orang yang sekolah bertahun-tahun di Timur Tengah sekalipun. Tamimah ini ada yang diselipkan di sabuk, dikalungkan di leher (biasanya pada anak-anak), disimpan di bawah tempat tidur, dan ada pula yang disimpan di atas jendela atau pintu. Apa tujuannya? Katanya, untuk mendatangkan segala apa yang mereka inginkan, misalnya agar jualannya laris dan mendapat untung besar. Ada yang dipakai dalam rangka menghadirkan kedigdayaan tubuh si pembawanya. Ada yang ditujukan untuk menolak segala hal buruk, dan banyak tujuan-tujuan lainnya. Promosi benda benda itu bahkan ada juga yang ditampilkan di media massa.
Menurut para ulama, tamimah, ada yang berisi ayat-ayat Quran dan ada pula yang berisi selain Quran. Bagaimana hukum masing-masing?
Pertama, tentang tamimah yang berisi selain Quran para ulama sepakat atas keharamannya. Jika orang yang menggunakannya meyakini bahwa benda itulah yang telah memberinya selamat dan mencegah dan kemadharatan maka itu merupakan perbuatan syirik akbar. Jika ia meyakini bahwa benda itu hanya sebagai perantara atau bahwa benda itu menyertai kehendak Allah, itu merupakar syirik ashgar. Dalam sebuah hadits riwayat Muslim disebutkat dari Abu Basyir Al-Anshari bahwa dirinya pernah bersama-sama Rasulullah SAW dalam satu perjalanan. Rasulullah SAW lalu mengutus seorang utusan (dengan perintah) agar tidak menyisakan kalung dan tali pada leher binatang melainkan harus diputuskan. Hadits itu menjelaskan bahwa kalung tersebut di kalangan sebagian orang Arab, diyakini dapat mencegah penyakit ‘ain dan unta. Mereka kadang melilitkan tali itu dalam bentuk kalung saja, tetapi kadang mereka juga menggantungkan pada kalung dari rotan atau rambut atau benda lainnya dalam rangka mencegah penyakit itu. Inilah salah satu bentuk tamimah.
Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya ruqyah-ruqyah (jampi-jamp tamimah (jimat), dan tiwalah (pelet) adalah syirik.(Ahmad dan Abu Dawud)
Kedua, tamimah yang terbuat dari Quran. Maksudnya, adalah adanya ayat-ayat Quran yang dittulis pada kain, kertas atau apa saja yang kemudian disebut tamimah. Para ulama salaf terbagi pada dua pandangan dalam mendudukan hukum masalah itu. Ada yang mengharamkan dan ada yang membolehkannya. Namun yang mengharamkan memiliki hujjah (argumentasi) yang lebih kuat. Dan antara hujjah itu adalah hadits yang melarang tamimah di atas, “Sesungguhnya ruqyahruqyah (jampi-jampi), tamimah (limat), dan tiwalah (pelet) adalah syirik.” (Ahmad dan Abu Dawud).
Dalam hadits itu dengan tegas Rasulullah SAW rnenyebutkan tamimah (jirnat) sebagai perbuatan syirik secara umum. Artinya mencakup tamimah yang berisikan ayat Quran maupun selain ayat Quran dan itu menjadi alasan pertama para ulama mengharamkannya.
Alasan kedua, para ulama memandang bahwa membolehkan tamimah dengan ayat Quran akan membuka pintu-pintu kemusyrikan lainnya yakni tamimah dengan sembarang perkataan dan tulisan. Alasan ketiqa, tamirnah sekalipun dengan ayat Quran akan menghadirkan rasa dan sikap ketergantungan kepada benda itu. Bahkan boleh jadi ketergantungan kepada tamimah yang terdiri atau berisikan ayat Quran lebih besar lagi. Dan bergantung kepada selain Allah adalah syirik.
Alasan keempat, ayat Quran yang dituliskan Dalam kain atau kertas yang dibawa kemana mana sangat berpeluang ternistakan, misalnya bila dibawa ke tempat-tempat kotor seperti WC dan lain sebagainya. Dan alasan kelima, jika tamimah dibenarkan dengan dalih bahwa isinya adalah ayat-ayat suci Quran maka ini akan menjadi kesempatan bagi para tukang sihir dan ahli mistik untuk memproduk tamimah yang nyata-nyata dilarang dengan mengklaim bahwa isinya adalah Quran. Terlebih lagi, tidak sedikit kaum Muslimin yang tidak dapat membedakan antara ayat Quran dangan tulisan arab lainnya.
Oleh karena itu hendaknya kita tidak terpedeya apa pun bentuk tamimah (jimat) ini. Meskipun diklaim isinya ayat Quran dan dipersyaratkan untuk memilikinya ritual tertentu semacam puasa. Pantaslah Sa’id Bin Jubair (seorang ulama tabi’i) mengatakan, “Siapa yang memutuskan tamimah dari seorang manusia maka pahalanya bagai memerdekakan seorang hamba sahaya.”