Setiap kali masuk masjid, dan adzan belum dikumandangkan, ada satu rutinitas yg Saya menyukainya. Apa itu? Mendengarkan adzan sang muadzin. Bukan karena mendengarkan dan menjawab panggilana adzan adalah wajib, semua orang tahu itu. Tapi ada alasan lain
Rata-rata adzan mereka, terutama di masjid besar, enak untuk didengarkan. Karena mereka memang orang pilihan. Mereka enak suaranya. Enak nadanya. Enak panjang pendeknya.
Tapi, bukan itu saja yg menjadi perhatian Saya. Ada yg lain.
Biasanya, Saya akan pasang kuping lebih seksama ketika sang muadzin sampai di kalimat Hayya alas shalaah dan Hayya alal falaah.
Anda tahu, paling sering di 2 kalimat diatas terjadi kesalahan. Kesalahannya yaitu ya dibaca yaa (panjang). Padahal kalau merujuk ke lafadz huruf Arabnya, Hayya, ya nya pendek, tidak panjang. Jadinya kalau didengarkan lebih seksama, adzannya jadi terdengar kurang sempurna.
Bukannya apa2, ketika sang muadzin salah seperti itu, Saya pasti tergeli-geli sendiri. Senyum dikulum, kuatir Saya cengengesan sendiri kayak orgil ketahuan jamaah sebelah :).
Soalnya saat adzan di masjid sebelah, Saya pernah ditegur imam masjid. Diberitahu: Mas, adzannya ada yang salah... Astaghfirullah...jadi selama ini adzan keras-keras sampai otot leher berurat, salah?? Amboy malu nian...
Dan setelah diberitahu, letak kesalahannya disitu, Saya manggut-manggut kayak marmut.
Dipikir-pikir, bisa salah seperti itu karena dilagukan. Coba dibaca biasa, datar, kayak mengaji biasa, insya Allah tak salah. Karena dilagukan, mungkin karena larut dengan iramanya, jadinya salah di panjang pendeknya.
Oiya, kesalahan seperti ini juga terjadi ketika tahlilan. Saya tahunya pas ikut tahlilan, baik di ketika berada di Jawa atau Bali. Dan mungkin terjadi di seluruh Indonesia :-).
Di tahlilan, ketika membaca surat Al Baqarah ayat terakhir (286), dibagian akhir ayat, kan baca Wa fu annaa Waghfirlanaa.
Nah, seringnya salah di fu itu pendek, tapi dibaca panjang. Salah juga di la, mestinya pendek tapi dipanjangkan.
Coba Anda baca.
Bacanya sambil dilagukan ya, seperti biasa orang tahlilan, yang kepalanya miring kanan kiri itu.