Islam, tidak dapat dipungkiri, sangat memuliakan wanita. Bahkan tindakan memuliakan wanita bagi laki-laki hukumnya wajib.
Didalam Alqur'an sendiri ada satu surat bernama surat Annisa, dimana Allah Swt menyiratkan semua manusia untuk memuliakan wanita.
Nabi Muhammad Saw sendiri juga tak kalah didalam memuliakan wanita. Simaklah salah satu haditsnya berikut ini.
"Bertakwalah kepada Allah tentang (urusan) wanita, karena sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kalian mempunyai hak yang menjadi kewajiban mereka, yaitu mereka tidak boleh memasukkan ke rumah kalian orang yang tidak kalian sukai. Jika mereka melakukannya maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Mereka pun memiliki hak yang menjadi kewajiban kalian, yaitu nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang makruf," (HR Malik, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, an-Nasai, adDarimi, Ahmad, Ibn Hibban, al-Baihaqi, lbn Khuzaimah, Abad bin Humaid, Ibn Abi Syaibah, dll).
Hadis ini diriwayatkan dari Ja'far bin Muhammad bin Ali bin al-Husain, dan jabir bin Abdullah ra. Sabda Rasul ini merupakan penggalan dari khutbah panjang yang Beliau sampaikan di Arafah pada saat Haji Wada'.
Nabi Saw. bersabda, "Fattaqullah fi annisâ’." Al-Munawi menjelaskan maksudnya adalah, “Bertakwalah dalam hal hak-hak mereka." Imam an-Nawawi di dalam sahih Muslim menyatakan, "Hadist ini merupakan dorongan untuk memperhatikan hak para wanita, menasihati mereka dan memperlakukan mereka secara makruf.”
"Fa innakum akhadztumuhunna bi amanillah" di dalam sebagian riwayat dengan lafal "bi amanatillah" maksudnya adalah "bi abdillah" (dengan janji Allah), yaitu janji untuk bersikap lembut dan bergaul dengan baik. "Wa istahlaltum furujahunna bi kalimatiLlah,".
Maksudnya adalah dengan syariahNya atau dengan perintah dan hukumNya, yaitu kebolehan dari Allah, dan kalimat firman Allah, "fankihu ma thaba lakum min annisa" (nikahilah wanita yang kalian sukai)... juga dikatakan maknanya adalah dengan ijab dan qabul, yaitu dengan kalimat yang diperintahkan oleh Allah Swt. "Wa lakum ‘alayhinna an la yuthi’na furusyakum ahadan takrahunahu." Maksudnya adalah, “Hendaknya ia tidak memberikan izin kepada siapapun (yang tidak disukai suami) masuk ke rumah suami. Larangan tersebut mencakup laki-laki dan perempuan.
Imam an-Nawawi menyatakan, "Maknanya adalah hendaknya mereka (para istri) tidak mengizinkan siapapun yang tidak kalian sukai untuk masuk ke rumah kalian dan duduk di dalamnya; baik yang diberi izin itu laki-laki asing, perempuan atau di antara mahram istri. Sebab, larangan tersebut mencakup semua. Inilah hukum dalam masalah ini menurut para fukaha, yaitu bahwa istri tidak halal mengizinkan laki-laki atau perempuan,
mahram-nya ataupun bukan, untuk masuk ke rumah suami; kecuali orang yang dalam anggapan atau dugaan istrinya itu bahwa suami tidak membencinya. Sebab, hukum asalnya adalah haram masuk ke rumah seorang manusia sehingga terdapat izin untuk masuk yang berasal dan dia atau orang yang ia izinkan untuk memberi izin itu, atau diketahui adanya kerelaannya dengan menerapkan ‘urf tentang itu atau semacamnya. Kapan saja terdapat keraguan akan adanya kerelaan dia dan tidak bisa dikuatkan adanya kerelaan itu serta tidak terdapat qarinah maka tidak boleh masuk dan istri tidak boleh memberikan izin."
"Fa in fa’alna dzalika fadhribihunna dharban ghayr mubarrih". Maknanya, jika mereka mengizinkan orang yang tidak kalian sukai masuk ke rumah kalian maka pukullah mereka dengan pukulan yang ghayr mubarrih. Jadi dalam hal ini suami boleh memukul istrinya dalam bentuk pukulan ghayr mubarrih untuk mendidik istri.
Hanya saja, di dalam QS an-Nisa’(4): 34, pukulan itu adalah langkah terakhir: setetah istri dinasihati; jika tidak mempan, lalu pisah ranjang; dan jika tidak mempan juga baru dengan pukulan tersebut. Pukulan ghayr mubarrih adalah pukulan yang tidak keji (ghayr syâ’in), tidak keras, tidak menyebabkan luka dan tidak meninggalkan bekas sedikitpun. Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud bukantah pukulan dengan tongkat atau semisalnya. Al-Hajaj dan Hasan Bashri menjelaskan, "Yaitu pukulan yang tidak membekas (ghayr muatstsir)."
Menurut para fukaha pukulan ghayr mubarrih adalah pukulan yang tidak menyebabkan rusaknya organ dan tidak meninggalkan bekas sedikitpun.
"Wa lahunna ‘alaykum rizquhunna wa kiswatuhunna bi al-ma’ruf". Jika suami memiliki hak yang menjadi kewajiban istri, maka harus diingat bahwa istri juga memiliki hak yang menjadi kewajiban suami; yaitu hak nafkah (pangan, sandang, papan, dsb) secara makruf. Muawiyah bin Haydah al-Qusyairi pernah bertanya, "Ya Rasulullah, apa hak isteri kami?”
Beliau menjawab, "Engkau memberinya makan jika engkau makan dan memberinya pakaian jika engkau berpakaian. Jangan engkau memukul wajah, jangan mencela (mencaci)nya, dan jangan mendiamkannya kecuali di dalam rumah." (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Bi al-ma’ruf, menurut al-Munawi, maksudnya adalah dengan memperhatikan kondisi suami, baik miskin ataupun kaya, atau dengan cara yang makruf (layak) secara proporsional dan terpuji.
Jadi, hadis ini memerintahkan para suami untuk memperhatikan hak-hak istri; agar para suami senantiasa bersikap lemah lembut kepada istri, mempergauli dan memperlakukan istri dengan makruf.
Hingga ketika menasihati, memberi sanksi dan bahkan jika terpaksa memukul dalam rangka mendidik pun tetap harus dengan cara yang makruf.
Hendaknya kita selalu ingat sabda Nabi Saw :
"Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya dan aku adalah yang paling baik di antara kalian kepada istriku," (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan ad-Darimi).
Hendaknya setiap kita, apalagi para pengemban dakwah, memperhatikan dan berupaya mewujudkan hal ini [Yahya Abdurrahman].
Karakter Wanita Salihah Sebagai Istri
Menjadi Isteri salihah bukanlah perkara gampang di tengah arus modernitas saat ini. Perlu keikhlasan dan keistiqomahan untuk menjalankan perannya. Sebagai istri, tugas merapikan urusan rumah tangga, seperti menyapu lantai, mencuci pakaian, memasak dan menyetrika memang terkesan tidak bergengsi. Tak boleh malu, jika ikhlas dan amanah, akan menjadi tabungan pahala yang sangat besar.
Bukankah seorang istri melakukannya tiada henti selama hidupnya? Sabda Raullullah SAW: "Seorang wanita adalah pengurus rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas kepengurusannya" (HR. Muslim).
Isteri solehah selalu menjaga kehormatannya. Caranya: tidak mengumbar aurat atau tabarruj, tidak sembarangan menerima tamu laki-laki, tidak keluyuran ke tempat-tempat maksiat, tidak menghabiskan sebagian waktunya untuk ngerumpi dan main hape, menonton televisi atau sekedar jalan-jalan di mal tanpa tujuan.
Ia amanah menjaga harta suami. Caranya: tidak berfoya-foya, tidak menggadaikan barang tanpa izin, memberi utang tanpa sepengetahuan suami atau kredit ini-itu diluar batas keuangan keluarga.
Ia pun melayani suami dengan ikhlas. Caranya: menyediakan keperluan suami, berdandan hanya untuk suami, tidak menolak permintannya selama suami tidak memerintahkan maksiat atau melarang melakukan perintah Allah SWT.
Bagi isteri yang dikaruniai anak dan menjadi seorang ibu, bertambah lagi hukum-hukum syara' yang harus ia jalankan untuk menjadi isteri salihah. Ia diamanahi Allah SWT untuk menyusui darah dagingnya selama dua tahun.
Wanita salihah tak akan enggan melakukannya, apalagi jika dalihnya hanya karena takut keindahan bentuk tubuhnya memudar. Menyusui anak dengan ASI adalah tugas utama seorang ibu salihah.
Lalu, ia wajib mendidiknya agar mengenal sang pencipta, mengajarinya mengenal berbagai benda, menghitung, membaca hingga usia baligh tiba. Ia wajib mempersiapkan anaknya agar mengenal syariat Islam. Ia wajib mendidiknya hingga mampu mandiri.
Sebagai anggota masyarakat, seorang muslimah memiliki tanggung jawab sosial terhadap lingkungannnya. Ia hidup di tengah-tengah masyarakat yang bisa jadi membutuhkan tenaga atau ilmunya. Ia wajib mengaplikasikan ilmunya jika itu membawa kemaslahatan bagi lingkungannaya. Ia wajib turut menciptakan lingkungannya yang kondusif bagi perkembangan seluruh masyarakat, termasuk anak-anaknya.
Wanita salihah selalu kritis terhadapa kondisi lingkungannya. Ia tak akan segan menasehati tetangga, teman bermain anaknya atau siapa saja di lingkungannya jika mereka melakukan kemakasiatan atau perbuatan yang merugikan. Ia mengajarkan agar masyarakat menjadi kritis dan cerdas.
Muslimah berkewajiban untuk berdakwah, menyeru kepada Islam, mengingatkan kepada kebajikan. Sabda Rasullullah Saw : "Siapa saja yang bangun pagi-pagi tetapi tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia bukanlah golongan mereka" (HR Ath-Thabari).