Menarik sekali apa yang dituangkan oleh Ateng Kusnadi, pengarang buku One-way Ticket To Heaven 5 Rahasia Meraih Sukses Sejati di Dunia & Akhirat. Buku ini mengupas sendi-sendi Islam
lewat pengalaman-pengalaman penulis, disertai dengan ayat Al-Quran dan Al-Hadist yang menguatkannya. Buku ini menjadi semakin menarik, karena penulisnya adalah seorang mualaf, yang kini telah menjadi seorang
muslim yang insyaAllah mempunyai derajat tinggi disisi Allah, karena telah banyak memberikan pelajaran atau hikmah kepada semua orang, baik lewat buku yang telah diterbitkannya, atau lewat aplikasi nyata seperti menjadi
pengusaha yang gemar menyalurkan penghasilannya untuk memberangkatkan orang lain ke tanah suci Mekah.
Dari sekian banyak 'tiket' menuju surga yang dikupasnya lewat buku One-Ticket to Heaven yang enak dibaca ini, diantaranya lewat shalat, zakat, syahadat, dll, Penulis mencoba mengapresiasi salah satu bab yang ada,
yaitu mengenai pertanyaan apakah surga dan neraka itu kekal. Mengenai pendapat para ulama apakah manusia nanti di neraka akan disana selamanya atau sementara, menarik untuk dikaji.
Penulis - dan kita semua - yakin, bahwa hidup di dunia ini bagaikan transit atau tempat singgah saja. Ibarat saya yang tinggal di Denpasar ingin menuju Jakarta, saya sedang transit di Surabaya. Denpasar kita
sebut alam rahim, atau alam sebelum kita dilahirkan. Surabaya, marilah kita sebut dengan dunia. Dan Jakarta kita sebut dengan akhirat (surga atau neraka). Sewaktu kita di Surabaya inilah tiket penerbangan lanjutan yang
akan menentukan, apakah kita akan sampai di Jakarta dengan selamat atau celaka. Secara sederhana, kalau perilaku yang kita tunjukkan selama di Surabaya (dunia) adalah perilaku yang baik, taat dan mematuhi segala
undang-undang kota Surabaya (Allah SWT), maka peluang kita selamat akan besar.
Sebaliknya, kalau perilaku kita selama di Surabaya adalah perilaku yang menyimpang, tidak sopan alias kasar, suka berbuat onar, maka bisa dipastikan kita akan celaka sampai di Jakarta. Tempat akhir tujuan kita, yaitu
Jakarta (oleh karena itu disebut akhir-at), memang adalah keniscayaan, atau memang ada. Namun, yang masih menjadi perdebatan, baik itu dikalangan muslim ataupun non-muslim, apakah keberadaan surga dan neraka itu
bersifat kekal. Apakah surga dan neraka itu bersifat sementara, atau selamanya. Atau, apakah ketika seorang muslim (walaupun kenyataannya selama hidup neraca dosa dan pahalanya lebih besar dosanya), pasti akan
masuk surga walaupun sempat mencicipi neraka dahulu?
Selintas, kalimat terakhir diatas sangatlah menggiurkan: Bayangkan, cukup menjadi muslim, walaupun nantinya jalan kehidupannya sama sekali jauh dari tuntunan untuk orang muslim, pasti akan masuk surga. Memang
sih, akan mampir neraka, tapi kan sebentar aja. Paling cuma semalam. Setelah itu, lanjut deh ke surga untuk selamanya. Enteng kalau gitu, maksiat saja terus ahh..
Begitu mungkin gambaran pemikiran orang model pengganggap enteng syariat. Taruhlah memang di neraka memang mampir sebentar, tapi kata sebentar itu relatif, atau tidak pasti. Sebentar di neraka itu bisa semalam
saja, sebulan, setahun, seratus tahun, atau mungkin bisa seribu tahun! Bagaimana kalau ternyata sepuluh ribu tahun?? Ingat, di surga kita akan selamanya. Yang namanya selamanya, itu artinya tidak akan berakhir.
Maka, pengertian 'sebentar' di neraka itu sangat relatif, kemungkinan lamanya seperti yang telah disebutkan diatas.
Lantas, walaupun cuma sebentar di neraka, apakah kita akan kuat menerima siksanya? Di neraka, dipermulaannya kita akan dipakaikan sebuah alas kaki. Bukan sembarang alas kaki. Karena saking panasnya, begitu
kita memakainya, otak yang ada dikepala kita akan langsung mendidih dan pecah berhamburan! Itu otak yang letaknya paling jauh dari kaki. Bagaimana dengan jemari kaki kita? Kemaluan kita? Usus, perut atau
jantung kita? Ah, pastinya akan rusak lebih parah lagi. Kemudian kulit tubuh kita akan dibakar (mungkin dengan cara digoreng!). Seketika seluruh tubuh yang ditutupi kulit itu akan hancur berantakan.
Ingat, di neraka, bahan bakar utamanya adalah manusia dan batu. Jadi, salah satu bahan bakar utama untuk membakar kita adalah diri kita sendiri. Begitu seterusnya siksaan itu, barang sebentar saja (bisa semalam,
sebulan, setahun, seratus tahun, atau mungkin seribu tahun.
Kalau sudah begini, apakah kita akan tetap nekat beranggapan dan terus berdebat bahwa neraka itu bersifat sementara? Rasa-rasanya, tidak ada bedanya apakah itu bersifat sementara (sebentar) atau selamanya
(kekal). Soalnya, sakitnya juga tidak ada bedanya! Oleh karena itu, fokus kita adalah, bagaimana caranya supaya kita tidak berurusan dengan neraka. Atau, selalu yakinlah bahwa sekali orang diceburkan ke neraka, dia
akan kekal selamanya. Titik.
Bagaimana caranya? Dengan selalu menjadi hamba yang bertakwa kepada Allah SWT. Menjalankan semua perintahnya. Menjauhi semua larangannya. Sesederhana itu. Berbaik-baiklah kepada sesama manusia. Tidak
usah mencari musuh. Jangan pernah menyakiti alam ini, berikut segala isinya (termasuk sesama manusia). Kalau kita sudah selalu berada di rambu-rambu yang telah ditetapkan Allah SWT, insyaAllah surga yang akan kita
dapatkan. Amin.
Pernikahan Sebagai Cara Meraih Surga
Salah satu tujuan pernikahan adalah tercapainya sakinah atau ketentraman didalam keluarga. Apalagi irama kehidupan masa kini yang sangat aktif dan dinamis, persaingan yang kompetitif, serta masalah yang kompkeks,
berpotensi besar memicu datangnya stess dan membuat perasaan nyaman menjadi langka dan mahal harganya.
Untuk itulah,kita harus berusaha memenej keluarga menjadi surga dunia,semaksimal mungkin. Sebuah pertarungan yang memunculkan istana yang menenangkan, menghadirkan kenyamanan dan ketentraman, serta
membuat kerasan siapapun yang memasukinya. Graha sakinah yang mengusir segala penat dan rasa lelah, juga semua gundah gelisah. Rumah, yang karenanya memang harus dibentuk dan diadakan. Rumah, bukan sekedar
menjadi tempat pertemuan dua jenis kelamin dan tidak memiliki tujuan-tujuan kemanusiaan yang elok dan bermartabat.
Dalam makna yang hakik,sakinah ini tidak idenyik dengan lengkapnya fasilitas yang berkelas, yang seringkali menjebak dan menipu. Istana-istana megah yang berubah menjadi penjara jiwa yang mengerikan. Fasilitas
yang hanya yang membuat hati dan jiwa menjadi keras. Tumpukan materi yang hanya membuat hidup terasa mati. Namun, Ia ada dalam kalbu seluas samudera, yang membuat para penghuni rumah itu menjadi
sebenar-benar manusia dengan hati,jiwa dan raganya.
Ada beberapa cara sederhana yang bisa kita lakukan demi mengapai sakinah ini. Salah satunya adalah dengan menerima apapun keadaan angota keluarga dengan lapang dada, dalam segala kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Sebab, salah satu kunci kenyamanan kita dalam bermuamalah adalah ketika kita merasa nyaman dengan diri sendiri, demikian juga dengan semua pihak yang terlibat dalam muamalah itu.
Kenyamanan yang muncul dari keutuhan penerimaan yang jujur, akan membuat seseorang merasa dihargai dan bisa menjadi diri sendiri. Hingga interaksi yang terciptapun akan lebih manusiawi dan alami. Jauh dari
kepura-puraan dan kedustaan yang seringkali membuat sebuah hubungan menjadi tidak nyaman. Apalagi didalam istana,ukuran kebaikan seseorang adalah ketaqwaan, bukan ukuran-ukuran lain yang tidak penting.
Sebagai kepala rumah tangga,kemampuan kita menerima seluruh angota keluarga dengan utuh,sangat berperan dalam penciptaan keluarga yang sakinah. Sebuah pondasi kokoh yang akan membuat kita membuat kita
berfikir jernih, bahwa masing-masing anggota keluarga memeng tidak memiliki kesamaan dalam banyak hal. Inilah yang kemudian bisa membuat kita bersikap realistis dalam menetapkan target-target pencapaian untuk
masing-masing dari mereka. Bukanlah setiap mereka termasuk diri kita, selalu memiliki sejumlah keterbatasan yang sulit,atau bahkan mustahil dirubah lagi? Berdamai dengan keterbatasan diri, Insya Allah akan membuat kita
menghargai diri sendiri dan orang lain.
Variasi target yang lebih sesuai dengan kemampuan masing-masing anggota keluarga yang menciptakan harmoni yang luar biasa sebab semua pihak memahami kekurangan masing-masing yang memang tidak perlu
dipersoalkan. Fokus sekarang adalah memaksimalkan kelebihan yang dimiliki demi kemajuan keluarga yang hakiki, dunia dan akhirat.
Kita juga harus peka akan kebutuhan rekreasi bagi seluruh aggota keluarga. Bahwa rutinitas yang dijalani semua pihak, akan membawa mereka kepada titik jenuh, yang bisa memperuncing keadaan dan menajamkan
emosi negatif. Ada kebutuhan relaksasi yang harus kita penuhi, dan secra kreatif, bisa kita munculkan meski tanpa biaya yang besar dan acara-acara spektakuler. Kebersamaan dalam menjalani kegiatan sederhana,bisa jadi
ampuh untuk menyenangkan hati dan mendatangkan rasa rileks.
Berikutnya adalah kemampuan kita mengelolo dan menghadapi tekanan,bahkan stress yang ada,harus kita tingkatkan. Sebab, kemajuan teknologi dan gaya hidup serba cepat ini, memunculkan berbagai tekanan yang
jauh berbeda kadar dan intensitasnya jika dibandingkan jaman-jaman yang lalu. Selain meningkatkan kadar iman seluruh anggota keluarga, menjaga suasana yang religius juga akan berperan banyak dalam
penciptaanketentraman keluarga. Kebiasaan-kebiasaan sederhana yan menampilkan pikiran positif, qanaah bertawakal kepada Allah, dan pasrah kepada ketantuan Allah, dalam bungkus wajah ceria, senyum yang terus
mengembang,kemudahan memaafkan kesalahan, hingga sapaan ringan yang mesra, adalah budaya keluarga yang harus kita tumbuhkan dan jaga konsistensianya.
Terakhir, kebiasaan melantunkan doa dan mengucap rasa syukur atas setiap pencapaian positif, dan bahkan terkesan sangat sederhana,juga harus kita adakan. Selain menjadi jalan, Insya Allah datanglah datanglah
pertolongan Allah,kebiasaan-kebiasaan ini juga menunjukkan kerendahan hati dan ketawadhuan, dimana keduanya menunjukkan hati yang tentram dan nyaman.
Saya percaya klo kita berusaha, Insya Allah,kita akan bisa,hingga keluarga-keluarga kita menjadi taman-taman surga yang didamba dan dirindukan setiap insan yang beriman.Dan bukan menjadi neraka tempat semua
kebrukan bersemayam. Semoga Allah memberi kemudahan kepada kita semua!